Menjaga Martabat dalam Progres Pembangunan Papua
Sungguh aneh jika ada pemuka agama menyulut umat untuk tidak mencintai negaranya. Sabtu kemarin, Pendeta Socratez S. Yoman melalui akun media sosial Facebook menayangkan tulisan pribadinya dengan judul “Indonesia Sesungguhnya Negara Gagal Dalam Konteks West Papua”. Di dalam tulisannya itu, dengan kaca mata kuda, ia melihat Papua Barat sebagai ladang kolonialisme Indonesia. Beberapa poin yang ia utarakan meliputi tuntutan kemakmuran daerah dan sistem politik yang memberikan kesempatan sama bagi orang Papua.
Ketika selesai membaca tulisan itu, saya jadi bertanya-bertanya, apakah Pendeta Socratez pernah berjalan-jalan ke pesisir utara Bekasi, selatan Cilegon, Brebes, Kebumen, atau pinggiran Probolinggo? Daerah-daerah itu juga kaya dan potensial menjadi daerah makmur. Namun mengapa hingga kini bayangan kemajuan seperti kota Den Bosch dan Arnhem di Belanda belum juga nampak. Malah yang ada, pinggiran kota itu menampakkan diri sebagai tempat kriminal bersemayam.
Dari gambaran itu, mari kita ingat pembukaan UUD 1945, bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (keamanan) dan untuk memajukan kesejahteraan umum (perbaikan ekonomi), mencerdaskan kehidupan bangsa (rakyatnya cerdas), dan ikut melaksanakan ketertiban dunia (pergaulan dunia yang bermartabat). Ada empat faktor bukan? Nah, agar pembangunan stabil, keempat faktor itu juga harus secara simultan mendukung berjalannya pemerintahan yang stabil. Yang hanya, bisa diciptakan oleh kesadaran masyarakat, kecintaan manusia-manusia Indonesia untuk menciptakan suasana bernegara yang damai.
Selama 72 tahun negara merealisasikan pembangunan dari Sabang sampai Merauke, yang jaraknya setara dari Moskow di Rusia hingga Dublin di Irlandia. Sesuatu miris jika Pendeta Socratez justru melihat persebaran penduduk dari luar wilayah Papua ke tanah Papua sebagai penjajahan. Padahal, bentangan wilayah Indonesia yang luas adalah tempat hidup bersama. Bahkan dengan percampuran budaya selama ini merupakan jalan yang saling menguatkan untuk membangun Indonesia.
Ini mengingatkan kita pada sejarah perjuangan bangsa, bahwa tidak mungkin kita mencapai takdir sebagai bangsa yang merdeka, tanpa berkumpulnya kesadaran bangsa-bangsa dari Sabang sampai Merauke untuk sama-sama berjuang. Para pemuka agama juga menjadi sumber bagi umat untuk mencintai membangun semangat kejuangan.
Bangsa Indonesia selalu ingat jasa Johannes Abraham Dimara seorang guru agama Kristen yang tidak mengenal kata meyerah pada Belanda. Frans Kaisiepo yang sudah terlibat dalam konferensi Malino tahun 1946 membicarakan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Hal yang sama dilakukan Silas Papare yang selalu melakukan perlawanan terhadap Belanda yang membuatnya sering dipenjarakan Belanda.
Di alam Indonesia merdeka, terkungkung dalam perasaan manja dengan membesar-besarkan peristiwa subjektif menjadi destruktif terhadap pembangunan. Benarlah jika Presiden Joko Widodo selalu menekankan pentingnya revolusi mental pada setiap insan Indonesia untuk menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045.
Wacana-wacana miring tidak akan menciptakan solusi bagi percepatan kemakmuran di tanah Papua. Soal ketimpangan ekonomi, tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahwa itu merupakan kenyataan, dan itu diamini oleh Presiden Jokowi sendiri.
“Kekayaan alam Papua yang melimpah itu bak mutiara yang terpendam. Ada banyak tantangan di Papua dan Papua Barat seperti kesenjangan ekonomi hingga ketimpangan pembangunan,” begitu kata Presiden yang dikutip dari berbagai media tertanggal 21 Juli 2017.
Presiden memahami bahwa isu utama di Papua dan Papua Barat adalah keterisolasian, yang menyebabkan dua provinsi ini sulit berkembang. Karena alasan itulah, realisasi Jokowi dan jajarannya menggenjot pembangunan untuk menciptakan konektivitas.
Di antara rencana pembangunan Jokowi adalah jalan raya Trans Papua, yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2018; elektrifikasi penuh di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 (saat ini baru mencakup 47 persen); dan membangun pelabuhan laut yang merupakan bagian dari program tol laut. Jumlah yang dikeluarkan pemerintah untuk program ini cukup signifikan. Tahun lalu, pemerintah mengalokasikan Rp85,7 triliun untuk mendanai proyek pembangunan di Papua dan Papua Barat tersebut.
Kunci dari sebuah pembangunan adalah komitmen. Bukan hanya komitmen dari pemerintah, tapi juga komitmen dari segenap masyarakat untuk menyongsong pembangunan dengan menggulirkan kerja sama, gotong royong, dan yang terpenting tidak melukai kebersamaan yang telah 72 tahun terjalin di antara bangsa-bangsa Indonesia. Hanya itulah yang bisa menjadikan susah payah pembangunan yang mandiri dilakukan bangsa Indonesia menjadi bermartabat di mata dunia.
Ars_on.140118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar